21 JUNI 1970… Bangsa Indonesia kehilangan seorang tokoh besar yang memiliki kharisma dan intelektual yang tak tertandingi di antara para pemimpin-pemimpin bangsa di Asia. Dialah Soekarno. Ia pergi meninggalkan bumi pertiwi tanpa status hukum yang jelas. Akankah Soeharto bernasib sama dengan Soekarno? Bagaimana cara Soeharto memperlakukan Soekarno?
SOEHARTO kini terbaring lemas di RS Pusat Pertamina (RSPP). Status hukumnya juga masih belum jelas. Sama seperti apa yang dialami Soekarno 36 tahun yang lalu. Bedanya, status hukum Soeharto lebih jelas. Artinya, ia pernah diseret ke Kejaksaan Agung dengan status sebagai tersangka. Namun, di tingkat pengadilan –menyandang status terdakwa– Soeharto sama sekali tak menyentuh karpet hijau hingga detik ini –dengan alasan kondisi kesehatannya tidak memungkinkan untuk diadili.
Perbedaan lainnya, ketika Soeharto sakit, wartawan dengan leluasa boleh melaporkan hasil liputannya melalui medianya masing-masing. Wajar saja kalau Siti Hardiyanti Indra Rukmana alia Mbak Tutut mengucapkan rasa terima kasihnya kepada para kuli tinta. “Atas nama keluarga, saya juga berterima kasih kepada semua artawan yang sudah datang menjenguk dan mengabarkan kondisi terakhir Bapak,” kata putri sulung Soeharto, dalam jumpa pers 7 Mei 2006 malam.
Bagaimana dengan Soekarno? Pria asal Blitar itu sama sekali tak tersentuh oleh pers. Bukannya pers tak tertarik untuk meliput kondisi kesehatan Bung Karno di Wisma Yaso, tetapi penguasa Orde Baru, Soeharto sangat sangat ketat mengawasi Soekarno dengan menggunakan militer sebagai alat untuk mengisolasi Bung Karno.
Awal tahun 1968, Bung Karno dipindahkan ke Istana Batutulis, Bogor. Sejak saat itu, praktis Bung Karno dikarantina dan tidak bisa ditemui wartawan. Namun atas permintaan keluarganya, karena udara disana terlalu dingin, maka Bung Karno dipindahkan ke Wisma Yaso –kini Museum Mandala Bhakti, di Jalan Gatot Subroto, Jakarta.
Di tempat itu Bung Karno diinterograsi dan ditahan. Sejak itu Bung Karno benar-benar terisolasi dari dunia liar. Suatu hari terdengar kabar bahwa kesehatan Soekarno makin memburuk. Seorang fotografer Associated Press, Piet Warbung, nekat mengambil gambar Bung Karno. Pria itu berhasil mengambil foto Bung Karno. Selama beberapa hari, Piet Warbung berjaga di bawah pohon di depan masjid kecil yang waktu itu ada di samping Wisma Yaso. Dengan tele-lens, ia kemudian berhasil memotret Bung Karno yang sedang berdiri, tanpa peci, di depan pintu Wisma Yaso. Foto itulah yang kemudian tersebar ke seluruh dunia.
Upaya memotret Bung Karno tidak hanya dilakukan wartawan AP. Tanggal 6 Juni 1970 ketika kondisi kesehatan Bung Karno makin memburuk –pas di hari ulang tahunnya ke 69 — Rachmawati dan Guruh dengan sembunyi-sembunyi memotret bapaknya yang terbaring di tempat tidur. Foto itu lalu dibocorkan keluar. Dan tampaknya foto-foto tersebut merupakan foto terakhir Bung Karno semasa masih hidup yang dimuat pers dunia.
Beberapa hari kemudian –11 Juni 1970– Bung Karno dibawa ke Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (RSPAD) karena kesehatannya yang kian parah. Sang Proklamator itu akhirnya meninggal pada 21 Juni 1970, pukul 07.00 pagi. Dunia hari itu berduka, karena kehilangan seorang tokoh yang memiliki kharisma di mata rakyat Indonesia.
***
SELAMA ditahan di Wisma Yaso tanpa kepastian hukum yang jelas, Bung Karno menderita tekan psikis berkepanjangan. Istri keempat Bung Karno, Ratna Sari Dewi memberikan kesaksian, disaat-saat terakhir suaminya hendak pergi meninggalkan alam fana ini, ia berada disampingnya. ”Saya ada disamping Bapak ketika beliau begini: kekhh… kekhh… kekkh..,” kata Ratna Sari Dewi suatu hari, sambil memperagakan suara Soekarno yang sedang sekarat.
”Bapak sudah mulai begitu pukul empat sore, sampai meninggal pukul empat pagi. Jadi dua belas jam, ini luar biasa.”
Suatu hari kata Ratna Sari Dewi, ia bertemu dengan lima orang anggota tim dokter untuk meminta penjelasan terhadap kondisi kesehatan suaminya. Namun seorang di antara mereka mengatakan, tim dokter tak boleh memberikan laporan apa pun tanpa seizin atasan. ”Ya, itu berarti Jenderal Soeharto kan?” ujarnya ketika ditanya siapa yang dimaksud atasan.
Dari hasil konsultasinya dengan dokter di AS, Prancis, dan Jepang, ada dugaan Bung Karno meninggal akibat kelebihan dosis obat tidur. Hal itulah yang mengherankan Dewi, karena Bung Karno tidak pernah minum obat tidur.
Tetapi para dokter yang dihubunginya menjelaskan, obat tidur juga dapat diberikan dengan cara injeksi. Jadi, tambah Dewi, Bung Karno dibunuh secara perlahan dengan suntikan oleh tim dokter atas perintah Soeharto. ”Saya kira begitu. Mungkin Soeharto kesal, kok Bapak tak juga meninggal.”
Dewi juga menduga, suaminya dibiarkan cepat mati agar tidak sempat lagi berbicara dengannya. Ia juga menyatakan, kisah Bung Karno yang jatuh koma dan harus dilarikan ke RSAD adalah bohong besar. Buktinya, ketika Dewi bertanya kepada penjaga Wisma Yaso, tempat Soekarno jadi tahanan rumah, diperoleh jawaban bahwa sebelum dibawa ke RSAD, Bung Karno sama sekali tidak sedang mengalami koma berat.
”Penjaga wisma itu mengatakan, sebelum dibawa ke RSAD, ada tentara tak dikenal yang memaksa Bapak, agar bersedia ditandu dan dibawa ke rumah sakit. Waktu itu Bapak tidak mau dibawa ke rumah sakit,” tutur Dewi dengan mata berkaca-kaca.
Penahananan dan pengisolasian yang teramat kejam oleh rezim Orba, kemudian siksaan lahiriah - –penahanan rumah, sangat tidak memadainya pengurusan kesehatan, dan isolasi politik serta mental–mempercepat proses kematian Bung Karno. Saksi sejarah Roeslan Abdoelgani pernah mengatakan, “Bung Karno dalam keadaan terasing dan terkungkung.”
***
ZAMAN telah berubah. Salah satu putri Bung Karno Megawati Soekarnoputri terpilih menjadi Wapres mendampingi Gus Dur. Namun, Megawati bukanlah tipe wanita pendedam. Aparat hukum diminta bekerja secara profesional. Akhir Mei 2000, Soeharto mendapatkan status tahanan rumah.
Perlakuan rezim baru terhadap Soeharto, masih manusiawi. Artinya, Soeharto boleh tinggal di rumah kebanggannya Jl Cendana. Selain itu Jaksa Agung masih memberikan izin kepada keluarga, dokter, dan pengacaranya untuk mengunjungi Soeharto.
Semula Kejaksaan Agung mengalami kesulitan mencari tempat yang aman buat Soeharto, gara- gara mantan penguasa Orde Baru itu sering didemo mahasiswa. Malah, ketika itu ada rencana mau memboyong ke hotel segala. Sebaliknya, keluarga Soeharto segera menyatakan keberatan dengan rencana pemindahan itu. Alasannya, kondisi kesehatannya membutuhkan tempat yang tenang dan familiar untuk terapi. “Kalau dipindahkan, sama saja dengan membunuh
pelan-pelan Pak Harto, berarti mereka tidak mempunyai keinginan untuk memberkas kasus ini,” kata Denny Kailimang, salah satu penasihat hukum Soeharto, waktu itu.
Kini naiknya SBY menjadi presiden, semakin membuka pintu terhadap status hukum Soeharto. Wacana agar pemerintah memberikan amnesti atau abolisi semakin menggalir dan seakan mendapat dukungan dari semua pihak. Ada pro dan kontra. Namun, di mata aktivis Forkot — tokoh gerakan reformasi 1998– pemberian amnesti atau istilah lainya sama dengan meruntuhkan sistem hukum di Indonesia. “Okey bahwa amnesti adalah hak prerogatif presiden. Akan tetapi bagaimana seorang kepala negara memberikan pengampunan, sementara sampai saat ini Soeharto belum pernah dinyatakan bersalah oleh hakim,” katanya.
tengok